Sayang Seribu Sayang Doa yang Kita Panjatkan 17-kali Sehari Semalam Kita Langgar Sendiri

17-kali minimal dalam sehari semalam kita memohon kepada Allah; “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kami jalannya Rasulullah ﷺ dan para Sahabat bukan jalannya orang Yahudi, bukan jalannya orang Nasrani”.

Seorang muslim minimal berdoa seperti ini kepada Allah sebanyak 17-kali dalam sehari semalam. Siapa yang minta cuma 16-kali, 15-kali maka berdosa besar dan sholatnya tidak sah karena doa ini diwujudkan dalam bentuk lafadz oleh Allah dengan kalimat;

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus,”

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat;”

Siapa orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dijelaskan dalam surat An-Nisa:69 [1] adalah Rasulullah ﷺ dan para Sahabat.

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

“bukan (jalan) mereka yang dimurkai…”

Keluar dari mulut Nabi ﷺ sendiri yang di maksud orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi.

وَلاَالضَّآلِّينَ

“dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Dan orang-orang yang sesat yang dimaksud oleh Nabi ﷺ adalah orang-orang Nashoro.

Berarti kita memohon kepada Allah; “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kami seperti jalan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah ﷺ dan para Sahabat, manhaj mereka, akidah mereka, muamalah mereka, ibadah mereka, akhlak mereka, bukan akhlaknya Yahudi, bukan manhajnya Yahudi, bukan cara ibadahnya Yahudi dan Nasrani”.

Tapi sayang seribu sayang doa yang kita panjatkan minimal 17-kali dalam sehari semalam kita langgar sendiri; kita mengadakan dan merayakan ulang tahun, memperingati hari-hari tertentu yang tidak diajarkan oleh Nabi ﷺ, -ini meniru siapa? Meniru Rasul dan para Sahabat? Tentu tidak-. Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, Umar, Imam Syafi’i, Imam Bukhari tidak kenal ulang tahun; -ini Yahudi dan Nasrani yang mengajarkan dan ditiru oleh sebagian besar kita kaum Muslimin-.

Memperingati hari kelahiran (ulang tahun), hari kematian, memperingati kematian seorang tokoh besar; ini perbuatan Yahudi dan Nasrani dan di-ikuti sebagian besar kaum Muslimin, Rasulullah ﷺ dan para Sahabat, para Nabi tidak pernah mengajarkan; -“Ingatlah oleh kalian Nabi Adam lahir atau wafat tanggal sekian… Nabi Nuh lahir, wafat tanggal sekian…”-. Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Yahya, Nabi Zakaria lahir, meninggal tanggal sekian, termasuk Nabi Muhammad ﷺ seumur hidup beliau tidak pernah mengajarkan; –“Wahai para Sahabatku, ingat jangan sampai lupa Aku lahir tanggal 12 Rabiul Awwal”-; -TIDAK ADA-.

12 Rabiul Awwal kelahiran Nabi ﷺ berselisih para ulama; betulkah Rasulullahﷺ lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal? Ada yang berpendapat 18 Rabiul Awwal, ada pendapat 8 Rabiul Awwal, ada pendapat diluar Rabiul Awwal, kenapa? karena Nabiﷺ tidak pernah mengajarkan; -bagaimana para Sahabat tahu?- Berselisih mereka; karena apa? Karena tidak ada hubungannya dengan kebaikan dan keburukan.

Yang harus kita ingat-ingat adalah ajaran Nabi, sunnah Nabi, perintah dan larangan Nabi bukan lahirnya Nabi; kalau lahirnya Nabi sebuah hari yang harus kita ingat-ingat tentu Rasulullah ﷺ sudah ajarkan dari awal kepada para Sahabat beliau; -TIDAK ADA-; ini perbuatan Yahudi dan Nasrani.

Maka kita ingat ketika turun firman Allah Ta’ala yaitu,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).

Ketika Ibnu ‘Abbas membaca ayat di atas, beliau berkata, “Orang Yahudi mengatakan:

لو نزلت هذه الآية علينا، لاتخذنا يومها عيدًا!

Seandainya ayat ini turun di tengah-tengah kami, niscaya kami akan merayakan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari besar atau hari raya).” Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini turun saat bertemunya dua hari raya yaitu hari raya ‘ied (haji akbar) dan hari Jum’at.[2]

Ketika datang pendeta Yahudi kepada Umar dan mengatakan; “Wahai Umar, seandainya ayat itu turun pada kami…” -berarti Yahudi tidak punya ayat itu dan tidak ada pernyataan dan penegasan Allah, bahwa telah disempuranakan agama Yahudi; tidak ada, yang ada hanya Islam- “…niscaya kami akan merayakan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari besar atau hari raya)”; -ini boroknya Yahudi-.

Dari sini kita tahu borok Yahudi keluar dari mulut mereka sendiri bahwa salah satu kebiasaan buruk Yahudi adalah memperingati hari-hari tertentu; oleh karena itu ketika Nabi datang ke Madinah; Nabi memperingatkan bahwa Allah telah menghapus seluruh hari besar, peringatan, perayaan; dihapus oleh Islam, kecuali dua hari raya Islam yaitu Idul Fithri dan Idul Adha dan telah dijelaskan tata caranya; beda dengan peringatan dan perayaan maulid Nabi, isro mi’roj, nuzulul qur’an, tahun baru Islam; -ini tidak jelas karena ini mengikuti Yahudi dan Nashoro-.

Tidak ada kelakuan buruk Yahudi dan Nasrani yang tidak ditiru oleh sebagian besar kaum Muslimin, bahkan kata Nabi ﷺ ; “Sungguh umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika diantara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan, dikalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya…”[3]

Barangkali cuma satu yang tidak ditiru; -membunuh para Nabi para Rasul yang merupakan salah satu kelakuan dan kemaksiatan dahsyat terbesar Yahudi-.

Wallahu ‘alam bisshowab.

– Catatan faedah dari khutbah Jum’at oleh Ustadz Muhtarom حفظه الله تعالى

_______
[1] Allah Ta’ala berfirman;
وَمَن يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلاَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلاَئِكَ رَفِيقًا {النساء :69} “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasulﷺ), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69)
[2] Disebutkan pula oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya.
[3] Hadits Shahih Lighairihi riwayat Tirmidzi, al-Hâkim, dan lainnya. Dishahihkan oleh Imam Ibnul Qayyim dan asy-Syathibi, dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan Syaikh al-Albani. Syeikh Salim al-Hilali menulis kitab khusus membela hadits ini dalam sebuah kitab yang bernama “Daf’ul Irtiyab ‘An Haditsi Maa Ana ‘Alaihi Wal Ash-hab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.