Pentingnya Tauhid Uluhiyyah (Mengesakan Allah dalam Ibadah)

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ

“(Al-‘Aziz berkata:) Wahai Yusuf, Lupakanlah ini! Dan engkau (wahai istriku), mohonlah ampunan atas dosamu! Karena engkau termasuk orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 29)

[2]- Tidak cukup pengakuan terhadap Rububiyyah Allah (Penciptaan-Nya terhadap alam semesta, kepemilikkan-Nya dan pengaturan-Nya terhadap segala perkara), karena harus disertai dengan pengakuan terhadap Uluhiyyah-Nya.

“Karena sungguh, kaum (Nabi Yusuf) mengakui adanya Rabb (Allah) -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, bahkan (mengakui) akan hak-Nya; akan tetapi mereka mempersekutukan selain Allah bersama-Nya.

Janganlah lupa perkataan suami (Zulaikha) kepadanya pada keadaan pertama kali (dia mengetahui kebenaran):

… وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ

“…dan engkau (wahai istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah?” (QS. Yusuf: 29).”

[“Raudhatul Muhibbiin” (II/446), karya Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-]

[3]- Oleh karena itu, Tauhid Uluhiyyah adalah: “Sisi terpenting dari dakwah para Rasul yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, karena dalam (Tauhid Uluhiyyah) inilah inti pertentangan yang terjadi antara mereka (para rasul) dengan musuh-musuhnya; dari kalangan orang-orang yang sombong dan menentang pada tiap umat.

Dan inti pertentangan ini terus berlangsung sampai hari ini, dan kemungkinan akan terus berlangsung sampai Hari Kiamat; sebagai bentuk ujian dan cobaan bagi pewaris para rasul dan untuk mengangkat derajat mereka.”

[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 41)]

[4]- Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahullaah- berkata:

“Sungguh, saya melihat bahwa penyelisihan yang dilakukan oleh jama’ah-jama’ah tersebut terhadap Manhaj (jalan) para Rasul dalam cara berdakwah: hal itu muncul dikarenakan kebodohan mereka terhadap Manhaj ini, dan orang yang bodoh tidak berhak untuk menjadi da’i, karena syarat terpenting dalam berdakwah adalah: ilmu, sebagaimana Allah -Ta’aalaa- firmankan kepada Nabi-Nya:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan BASHIIRAH (ilmu yakin), Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Maka, hal terpenting yang menjadikan seseorang berhak untuk menjadi da’i adalah: ilmu.”

[Muqaddimah Kitab “Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 11)]

[5]- Makna “Bashiirah”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Yakni: dalam pen-dalil-anmu engkau mencapai derajat ilmu yang paling tinggi; yaitu: Bashiirah, dimana dalam derajat ini; ilmu yang sampai ke dalam hati seperti benda yang terlihat dengan nyata oleh mata kepala. (Derajat) ini adalah keistimewaan yang dimiliki oleh para Shahabat dibandingkan seluruh umat, dan (derajat Bashiirah) ini merupakan derajat yang paling tinggi bagi ulama. Allah -Ta’aalaa- telah berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي…

“Katakanlah (wahai Rasul): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku (berdakwah) mengajak (kamu) kepada Allah dengan diatas Bashiirah (keyakinan),…” (QS. Yusuf: 108)

Yakni: aku dan para pengikutku berada diatas Bashiirah. Ada yang berpendapat bahwa…maknanya adalah: Aku berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah dan orang-orang yang mengikutiku juga berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah.

(Yang jelas) -atas dua pendapat ini-; maka ayat tersebut menunjukkan bahwa para pengikut Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; mereka adalah orang-orang yang mempunyai Bashiirah dan mereka berdakwah (mengajak) kepada Allah diatas Bashiirah. MAKA, SIAPA SAJA YANG TIDAK TERMASUK GOLONGAN MEREKA [ORANG-ORANG YANG MEMPUNYAI BASHIRAH, DAN BERDAKWAH (MENGAJAK) KEPADA ALLAH DI ATAS BASHIRAH]; MAKA DIA BUKAN PENGIKUT RASUL -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- SECARA HAKIKI DAN TIDAK SESUAI (DENGAN BELIAU), WALAUPUN ORANG SEMACAM INI TERHITUNG PENGIKUT BELIAU SECARA PENISBATAN DAN PENGAKUAN SAJA.”

[“Madaarijus Saalikiin” (II/548- cet. Ad-Daar Al-‘Aalamiyyah)]

Beliau -Imam Ibnul Qayyim- juga berkata:

“(Sehingga) kalau (kita telah mengetahui bahwa) dakwah merupakan kedudukan hamba yang paling agung dan paling utama; maka dakwah tersebut tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu (pengetahuan) tentang apa yang akan dia dakwahkan dan kepada apa/siapa dia berdakwah.

BAHKAN, DEMI KESEMPURNAAN DAKWAH; MAKA (SEORANG DA’I) HARUS MENCAPAI ILMU SAMPAI BATAS MAKSIMAL YANG DIA MAMPU UNTUK MENGUSAHAKANNYA.”

[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/476)]

Adapun orang-orang yang membawa ilmu; akan tetapi “hatinya belum tenang (mantap), bahkan dalam masalah ilmu; Bashiirah-nya adalah lemah, akan tetapi dia tunduk kepada ahli ilmu; maka inilah keadaan para pengikut kebenaran dari golongan muqallidiin (orang-orang yang taklid dalam ilmunya-pent). MAKA ORANG-ORANG SEMACAM INI -WALAUPUN MEREKA DI ATAS JALAN KESELAMATAN-; AKAN TETAPI BUKANLAH PARA DA’I (ORANG-ORANG YANG MENDAKWAHKAN) AGAMA, mereka hanyalah orang-orang yang bisa memperbanyak pasukan (kebenaran), akan tetapi mereka bukan termasuk para pemimpinnya dan bukan juga termasuk ahlinya.”

[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/441)]

Wallaahul Musta’aan Wa ‘Alaihit Tuklaan (dan Allah-lah yang diminta pertolongan dan hanya kepada-Nya-lah (kita) bertawakkal).

– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix حفظه الله تعالى

Leave a Reply

Your email address will not be published.