Dua Pembahasan dalam Masalah Ilmu

Di sini akan disampaikan dua pembahasan dalam masalah ilmu:

1. Keutamaan Ilmu Dan Orang-Orang Yang Berilmu

2. Adab-Adab Dalam Menuntut Ilmu

Pembahasan Pertama: Untuk mendorong kita agar semangat dalam menuntut ilmu.

Pembahasan Kedua: Setelah kita semangat dalam menuntut ilmu; maka dengan Pembahasan Kedua: Agar kita menempuh jalan yang benar untuk mendapatkan ilmu.

PEMBAHASAN PERTAMA: KEUTAMAAN ILMU DAN ORANG-ORANG YANG BERILMU

Sebelum masuk ke pembahasan ini; maka yang pertama harus diketahui adalah: Bahwa pembahasan ini hanya bermanfaat bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir; bukan orang yang masih disibukkan dengan kecintaan kepada selain Allah; kecintaan kepada harta, kedudukan, wanita dan perkara-perkara dunia lainnya. Karena hanya orang-orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir saja yang bisa akan mengambil manfaat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, hanya mereka yang beriman dengan yang ghaib yang berusaha untuk mendapatkan kesuksesan di akhirat untuk masuk Surga.

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:

الٓم * ذٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ * الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ …

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib,…” (QS. Al-Baqarah: 1-3)

Sungguh Allah -Ta’aalaa- telah memuji ilmu dan ahli ilmu, dan Dia mendorong hamba-hamba-Nya kepada ilmu dan agar mereka berbekal dengannya. Demikian juga Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sebutkan dalam Sunnah beliau.

Di antara keutamaan orang-orang yang berilmu -dan juga keutamaan orang-orang yang menuntut ilmu- yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah:

1. Dengan ilmu seseorang bisa mencapai derajat menjadi saksi atas Tauhid.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Allah bersaksi (menyatakan) bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)

Pada ayat ini Allah -Ta’aalaa- menjadikan orang-orang yang berilmu sebagai saksi atas sesuatu yang sangat agung; yaitu keesaan Allah. Maka ini menunjukkan keutamaan orang-orang yang berilmu.

Selain itu ayat tersebut juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang yang berilmu.

2. Ahli ilmu adalah salah satu dari 2 (dua) golongan Ulil Amri; yang Allah perintahkan untuk ta’at kepada mereka dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ …

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…” (QS. An-Nisaa’: 59)

Maka Ulil Amri di sini mencakup: Ulil Amri dari kalangan pemerintah dan penguasa dan juga mencakup Ulil Amri dari kalangan Ulama dan para penuntut ilmu.

3. Ilmu adalah warisan para Nabi -‘alaihimush shalaatu was salaam-.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَـمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا، وَلَا دِرْهَـمًا [وَإِنَّمَا] وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بـِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sungguh, para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, barangsiapa yang mau mengambilnya; maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” [HR. Abu Dawud (no. 3641), Ahmad (V/196) dan lainnya dari Abu Darda -radhiyallaahu ‘anhu-]

4. Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

…وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا؛ سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِـهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ…

“…Dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu; maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga…” [HR. Muslim (no. 2699), dari Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-]

5. Faham dalam masalah agama termasuk tanda-tanda kebaikan.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah; maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 71) dan Muslim (no. 1037), dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan -radhiyallaahu ‘anhumaa-]

Pemahaman agama yang dimaksud dalam hadits ini adalah: Pemahaman terhadap ilmu Tauhid, Ushuulud Diin (prinsip-prinsip agama), dan hal-hal yang berkaitan dengan syari’at Allah -Ta’aalaa-.

Kalaulah tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali hadits ini; maka sungguh telah cukup untuk mendorong kepada menunut ilmu syar’i.

 

PENBAHASAN KEDUA: ADAB-ADAB DALAM MENUNTUT ILMU

Setelah kita semangat dalam menuntut ilmu; maka kita harus menempuh jalan yang benar untuk mendapatkan ilmu. Karena, betapa banyak orang yang mencari ilmu dan semangat di dalamnya; akan tetapi tidak mendapatkannya.

1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah saja.

Ikhlas dalam menuntut ilmu bisa dicapai dengan beberapa perkara:

a. Meniatkan untuk melaksanakan perintah Allah, karena Allah memerintahkan dengannya.

Allah Ta’aalaa berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ …

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) selain Allah…” (QS. Muhammad: 19)

Allah -Ta’aalaa- mendorong kepada ilmu, hal itu berkonsekuensi bahwa Dia mencintainya, meridhainya, dan memerintahkan kepadanya.

b. Meniatkan untuk menjaga Syari’at, karena menjaga Syari’at itu dengan cara menuntut belajar dan menjaganya di dada (dengan menghafal) dan juga dengan menulisnya.

c. Meniatkan untuk membela Syari’at, karena dengan adanya ulama yang membantah orang-orang yang menentang Syari’at; maka Syari’at terjaga.

d. Meniatkan untuk ittibaa’ (mengikuti) Syari’at Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, karena tidak mungkin seseorang bisa ittibaa’ (mengikuti) Syari’at beliau sebelum berilmu tentang Syari’at tersebut.

e. Meniatkan untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri dan dari orang lain.

2. Berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengambil ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; yang penuntut ilmu tidak akan sukses kalau tidak memulai dengan keduanya.

* Al-Qur’an: Wajib atas penuntut ilmu untuk semangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya dengan pemahaman Salaf, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

* As-Sunnah: Merupakan penjelas dari Al-Qur’an, maka tugas penuntut ilmu adalah menghafal hadits-hadits, mempelajari sanad dan matannya, serta membedakan antara hadits yang shahih dengan yang dha’if. Dan menjaga Sunnah juga dengan cara membantah syubhat (kerancuan) yang dilemparkan oleh Ahlul Bid’ah dalam masalah Sunnah.

3. Bersungguh-sungguh untuk bisa memahami maksud Allah dan Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Termasuk perkara yang penting dalam menuntut ilmu adalah masalah pemahaman, tidak cukup hanya menghafal Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa disertai pemahaman. Alangkah banyaknya terjadi penyimpangan dan kesesatan dikarenakan orang-orang yang berdalil dengan nash-nash akan tetapi tidak sesuai dengan maksud Allah dan Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

4. Menghormati para ulama.

Jangan sampai nama seorang ulama itu jelek, karena kalau namanya jelek; maka perkataan mereka juga tidak akan dihargai, padahal dia mengatakan kebenaran dan mengajak kepadanya. Sesungguhnya membicarakan kejelekan seorang berilmu; akan menghalangi manusia dari ilmu syar’i-nya, dan ini sangat berbahaya.

5. Sabar di atas ilmu.

Yaitu: Penuntut ilmu terus di atas ilmu, tidak terputus dan tidak bosan. Dia terus mempelajarinya sampai puncak kemampuannya.

[Diringkas dari Kitaabul ‘Ilmi (hlm. 15-55 & 186-187), milik Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix Eskanto حفظه الله تعالى

Leave a Reply

Your email address will not be published.