Ini Masjid Wakaf atau Tidak Wakaf? -Takalluf-

Muncul baru-baru ini istilah masjid wakaf dan tidak wakaf yang membuat sebagian dari kita menjadi khawatir dan was-was yang justru memberatkan diri sendiri dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan terhadap status masjid.

Memangnya kita sebagai jamaah tahu dan harus tahu kalau masjid ini sudah wakaf? Masjid itu sudah wakaf? Kalau begitu kita harus tanya dulu sebelum melakukan ibadah yang wajib dan dikhususkan dilakukan di masjid kepada DKM-nya? Kita ke masjid Istiqlal tanyakan apakah sudah wakaf atau belum? Kita ke masjid Al-Azhar tanyakan sudah wakaf atau belum? Ini memberatkan; -Takalluf- [1].

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].

Jadi kita lihat saja zhohir-nya; karpet digelar, pintu terbuka, suara adzan dikumandangkan, ya sudah inilah masjidnya kaum muslimin, adapun si A, si B, si C itu sebagai pengurusnya yang mengurus kebersihannya, bayar listriknya, mengurus penjemputan ustadz, khotib dan segala macam keperluan lainnya, adapun penggunaannya bebas.

Wakaf di negeri kita ini yang kita ketahui harus pakai catatan, ada Nazhir[2], ada Waqif[3] itu diserahkan di pejabat KUA; apakah ini ada di zaman Nabi? -Tidak ada-. Lalu bagaimana muncul hukum baru? Yang menjadi persamaan antara masjid kita dengan masjid Nabi apanya? -Tempatnya- istilah kita -jogrokannya-, kalau sudah jelas jogrokan masjid umumnya seperti itu lalu kenapa kita masih saja tanyakan? Kalau dijawab tidak wakaf berarti boleh jual-beli, sholat tahiyatul masjid tidak boleh, itikaf tidak boleh; -ini memberatkan-.

Maka bukan urusan bagi kita para jamaah, ini merupakan urusan DKM dengan pemerintah agar tanahnya itu tidak bisa dijual dan sebenarnya ini urusan dunia di zaman sekarang.

– Catatan faedah dari kajian Syubhat Ketiga oleh Ustadz Muhtarom حفظه الله تعالى

_______
Footnote
[1] Pengertian takalluf sederhananya mengandung unsur membebani diri dan pengusahaan di luar batas kemampuan. Imam al-Hâkim meriwayatkan dari A’masy dari Syaqîq, ia berkata: Saya dan temanku mendatangi Salmân Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada kami sembari berkata :
لَولاَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ التَّكَلُّفِ لََتَكّلْتُ لَكُمْ
“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya”. Dikatakan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami pernah bersama ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri”. [HR al-Bukhâri, no. 6749].
[2] Nazhir adalah seseorang yang diserahi amanat untuk mengurusi atau mengelola wakaf.
[3] Waqif adalah orang yang mewakafkan.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.