Meluruskan Pernyataan: Ke Pasar & Mall Berani, Ke Masjid Kok Takut Corona?

Ada sebuah video yang kami terima dalam pesan berantai whatsapp dengan pemateri dr. Raehanul Bahraen yang perlu kami tanggapi.

[1] saudara dr. Raehanul Bahraen -hadanallah wa iyyahu- mengatakan: “ada pernyataan yang tidak tepat lalu menjadi viral, mereka mengatakan: ke ATM ambil uang berani, ke pasar dan mall berani, tapi pas ke masjid kok takut corona?”

Tanggapan:
Menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak tepat, justru tidak tepat.

[ALASAN PERTAMA:] Apabila al-akh dr. Raehanul Bahraen lebih memperhatikan lagi waqi’ (realita) masyarakat, keadaan mereka beragam;

[-keadaan pertama:] ada yang takut corona sehingga mengisolasi diri dirumah total. Untuk mereka kita katakan bahwa mereka mendapatkan udzur meninggalkan sholat berjamaah dan Jum’at di Masjid karena ketakutan. Para ulama telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa rasa takut merupakan salah satu udzur untuk meninggalkan sholat berjamaah. Imam Ibnu Quddamah -rahimahullah berkata:

“ويعذر في تركهما الخائف؛ لقول النبي – صلى الله عليه وسلم –: “العذر خوف أو مرض”، والخوف ثلاثة أنواع؛ خوف على النفس، وخوف على المال، وخوف على الأهل”.

“dan diberikan udzur untuk meninggalkannya orang yang takut berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “udzur itu adalah takut atau sakit” dan khouf/takut ada tiga macam; takut terhadap keselamatan dirinya, takut terhadap keselamatan hartanya, takut terhadap keselamatan keluarganya.” (al-Mughni (I/451)

Demikian pula ada fatwa dari hai’ah kibar ulama yang menjelaskan ada tiga macam keadaan manusia:

1) orang yang mengidap corona haram menghadiri sholat jamaah dan jum’at. Haram menghadiri sholat.

2) mereka yang dilarang oleh lembaga resmi pemerintah. Harus taat kepada pemerintah

3) mereka yang takut tertular atau menularkan diberikan rukhshoh meninggalkan sholat jamaah.

Lihat: https://www.spa.gov.sa/2047028

Catatan penting:
Walaupun khouf/takut adalah udzur, namun ada beberapa hal yang patut diperhatikan:

1] hadits yang menjelaskan udzur adalah takut atau sakit, adalah hadits yang dhoif, kami belum menemukan riwayat yang shohih. Silahkan lihat irwaul gholil hadits no. 551

2] dalil paling kuat terhadap udzur ini adalah qiyas kepada hujan dengan illat masyaqqoh (kesulitan).

3] ada hadits Ibnu Abbas yang menunjukkan udzur karena Khouf dalam masalah menjama’ sholat.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ»

Dari Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjama’ antara dzhuhur dengan ashar, Maghrib dengan isya, tanpa ada ketakutan, dan tidak juga dalam safar” HR. Muslim 705-(49)

Namun konteks hadits dalam menjama’ sholat, bukan meninggalkan jama’ah.

4) beberapa kaidah yang menguatkan seperti

لا ضرر ولا ضرار
atau kaidah

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

5] hadits dari Ibnu Ummi Maktum -radhiyallah anhu- ia berkata:

: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ؟ فَحَيَّ هَلًا»

“wahai Rasulullah, sesungguhnya kota Madinah, banyak sekali hewan berbisa dan hewan buas” kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: apakah kamu mendengar hayya ‘alash sholah hayya alal falah? Maka datang dan bergegaslah” HR. Abu Dawud: 553

Hadits ini menjelaskan bahwa takut kepada hewan berbisa dan hewan buas tidaklah menjadikan ibnu Ummi Maktum yang buta mendapatkan udzur meninggalkan jamaah, karena takutnya masih bersifat mawhumah (dugaan).

[-keadaan kedua:] Ada yang takut corona tapi masih bekerja, berkerumun di tempat kerja dan di alat transportasi, mengangkut penumpang. Untuk mereka pertanyaan tersebut masih layak dilontarkan kepada mereka. Karena illat (sebab) udzur meninggalkan jamaah adalah berkumpul, yang berkumpul tadi berpotensi tertular penyakit.
Oleh karenanya, banyak yang bertanya kepada kami tentang kebimbangan mereka meninggalkan sholat jamaah di pabrik, kantor, di jalan, karena bagi mereka perkumpulan tersebut tidak bisa dihindari. Bahkan banyak kemusykilan yang terjadi diantaranya:

-waktu sholat mau tidak mau mereka menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Karena berkumpul, akhirnya bermacam-macam sikap mereka. Ada yang sholat sendiri-sendiri, ada yang sholat berjamaah dengan shaf yang berjarak 1 meter dan ini bid’ah serta tidak sempurna jama’ahnya bahkan dikhawatirkan tidak sah sholatnya. Ada juga yang berjamaah berkelompok-kelompok kecil dalam satu masjid diwaktu yang bersamaan. Padahal, durasi sholat apabila dibanding dengan durasi mereka di kereta yang berjam-jam, durasi mereka di kantin yang lebih dari setengah jam, durasi mereka mengangkut penumpang lebih lama dibanding mereka melaksanakan sholat yang Cuma beberapa menit.

-waktu sholat jum’at, karena di tiadakan akhirnya mereka melaksanakan dzuhur berjamaah. Kenapa tidak jum’at saja dengan khutbah dan sholat yang dipersingkat?

[-keadaan ketiga:] ada yang mengaku takut kepada corona, ketika sholat mereka dirumah, tapi masih olahraga bersama, nongkrong sambil nunggu orderan di warung kopi, masih kelayaban . Pertanyaan ini sangat cocok dilontarkan kepada mereka. Ke ATM berani, ke Mall berani, ngumpul di warung kopi berani, ketika ke Masjid takut corona.

[-keadaan keempat:] ada yang tidak takut corona.
Bagi mereka yng tidak takut, maka boleh menghadiri sholat jama’ah dan jum’at. Dengan alasan:

1) makna dari rukhsoh adalah mendapatkan keringanan karena udzur yang dimiliki. Kalaupun mereka tetap melaksanakannya maka tidak mengapa.seperti rukhshoh bagi musafir boleh meninggalkan puasa, kalau mau berpuasa maka dibolehkan. Kalaulah orang yang mendapatkan udzur saja (yang takut corona) boleh untuk menghadiri sholat jama’ah, apalagi yang tidak takut.

2) sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ [يعني : الطاعون] بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه

“apabila kalian mendengar thoun mewabah pada suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya, dan apabila terjadi pada suatu negeri dan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar lari karena takut darinya” HR. Bukhori (5739) Muslim (2219)

Larangan keluar dari daerah wabah, adalah larangan yang bersifat khusus yaitu lari karena takut terkena wabah, adapun keluar dari daerah yang terkena thoun karena sebab lainnya maka dibolehkan.

Imam Nawawi berkata:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ مَنْعُ الْقُدُومِ عَلَى بَلَدِ الطَّاعُونِ وَمَنْعُ الْخُرُوجِ مِنْهُ فِرَارًا مِنْ ذَلِكَ أما الخروج لعارض فلابأس بِهِ

“dan dalam hadits -hadits ini terdapat larangan masuk negeri yang terkena wabah, dan larangan keluar darinya karena lari/takut darinya, adapun keluar karena kebutuhan tertentu maka tidak mengapa.” [Syarh Muslim (X/205)

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr:

وَفِي ذَلِكَ إِبَاحَةُ الْخُرُوجِ مِنْ مَوْضِعِ الطَّاعُونِ إِذَا لَمْ يَكُنِ الْخُرُوجُ قَصْدًا إِلَى الْفِرَارِ مِنَ الطَّاعُونِ

“dan dalam hadits ini, bolehnya seorang keluar dari tempat thoun apabila alasan keluarnya bukan karena lari dari thoun” [al-Istidzkar (VIII/254))

Kami katakan: “Apabila masuk dan keluarnya seseorang kenegeri wabah tidak dilarang apabila alasannya bukan karena takut wabah, maka menghadiri sholat berjamaah di masjid karena tidak takut wabah, lebih dibolehkan lagi.

3]sebagian ulama mengatakan bahwa larangan dalam hadits tersebut khusus pada tha’un saja tidak pada wabah lainnya.

4] alasan dan hikmah larangan masuk dan keluar dari negeri thaun agar manusia tidak mengatakan: “karena saya masuk negeri ini saya tertular” atau mengatakan: “karena saya keluar dari negeri ini saya tidak tertular” dan bukanlah alasannya karena takut tertular.

Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Fath (X/118)

قَالَ الطَّحَاوِيُّ اسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَ الْخُرُوجَ بِالنَّهْيِ الْوَارِدِ عَنِ الدُّخُولِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي يَقَعُ بِهَا قَالُوا وَإِنَّمَا نَهَى عَنْ ذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُعْدِيَ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ وَهُوَ مَرْدُودٌ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ النَّهْيُ لِهَذَا لَجَازَ لِأَهْلِ الْمَوْضِعِ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ الْخُرُوجُ وَقَدْ ثَبَتَ النَّهْيُ أَيْضًا عَنْ ذَلِكَ.
فَعُرِفَ أَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ مُنِعُوا مِنَ الْقُدُومِ عَلَيْهِ غَيْرُ مَعْنَى الْعَدْوَى وَالَّذِي يَظْهَرُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ حِكْمَةَ النَّهْيِ عَنِ الْقُدُومِ عَلَيْهِ لِئَلَّا يُصِيبَ مَنْ قَدِمَ عَلَيْهِ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ فَيَقُولُ لَوْلَا أَنِّي قَدِمْتُ هَذِهِ الْأَرْضَ لَمَا أَصَابَنِي وَلَعَلَّهُ لَوْ أَقَامَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي كَانَ فِيهِ لَأَصَابَهُ فَأَمَرَ أَنْ لَا يَقْدَمَ عَلَيْهِ حَسْمًا لِلْمَادَّةِ.
وَنَهَى مَنْ وَقَعَ وَهُوَ بِهَا أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْأَرْضِ الَّتِي نَزَلَ بِهَا لِئَلَّا يَسْلَمَ فَيَقُولَ مَثَلًا لَوْ أَقَمْتُ فِي تِلْكَ الْأَرْضِ لَأَصَابَنِي مَا أَصَابَ أَهْلَهَا وَلَعَلَّهُ لَوْ كَانَ أَقَامَ بِهَا مَا أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ

“berkata Ath-Thohawi: orang yang membolehkan keluar (dari negeri wabah) berdalil dengan larangan memasuki daerah yang terjadi wabah dengan mengatakan: “sesungguhnya hal yang demikian dilarang karena takut menularkan kepada orang yang datang kepada mereka”. Ia (ath-Thohawi) berkata: “ini adalah alasan yang tertolak karena: kalau sekiranya larangannya atas dasar ini, tentu boleh bagi penduduk daerah yang terkena wabah untuk keluar (agar tidak tertular), padahal telah datang larangan juga tentang hal itu.
Maka diketahui alasan yang tepat terhadap larangan memasuki daerah wabah, bukan karena penularan.

Yang nampak -wallahu a’lam- bahwa hikmah dari larangan memasuki daerah wabah agar tidaklah tertimpa wabah dengan takdir Allah orang yang memasukinya, kemudian ia berkata: “kalau saya tidak memasukinya, tentulah saya tidak akan tertimpa, bisa jadi apabila dia tinggal di tempat terjadi wabah, ia akan terkena”.

Maka nabi melarang hal demikian untuk memotong perkara itu.

Dan nabi melarang orang yang tinggal ditempat wabah untuk keluar dari tempat tinggalnya, agar jangan sampai ketika ia selamat, ia mengatakan: kalau saya tetap tinggal di tempat itu niscaya saya pasti tertimpa sebagaimana penduduk negeri ini tertimpa wabah. Dan bisa jadi kalau ia pergi darinya dia tidak akan tertimpa apapun.”

5] ketika terjadi wabah, maka yang Allah maksudkan adalah penduduknya, bukan daerahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam al-Fath [X/190]:

قَالَ (الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي جَمْرَةَ) وَأَيْضًا فَالْبَلَاءُ إِذَا نَزَلَ إِنَّمَا يُقْصَدُ بِهِ أَهْلُ الْبُقْعَةِ لَا الْبُقْعَةُ نَفْسُهَا فَمَنْ أَرَادَ اللَّهُ إِنْزَالَ الْبَلَاءِ بِهِ فَهُوَ وَاقِعٌ بِهِ وَلَا مَحَالَةَ فَأَيْنَمَا تَوَجَّهَ يُدْرِكْهُ

“berkata juga (syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah): maka wabah, apabila telah turun, yang dimaksudkan adalah penduduk suatu tempat, bukan tempat itu sendiri, maka barang siapa yang Allah kehendaki untuk turunkan wabah kepadanya maka ia akan terkena, tidak bisa tidak. Kemana saja ia pergi, ia akan terkena wabah terebut”

[ALASAN KEDUA:] perbedaan tiap daerah terhadap wabah juga berbeda-beda. Karena kemudhorotan yang dikhawatirkan harus dipastikan atau mendominasi.

العبرة للشائع الغالب لا للنادر

“Hukum berlaku untuk sifat yang mendominasi bukan untuk sifat yang jarang terjadi” lihat [al-wajiz fii idhohi qowaidhil fiqh al-kulliyyah hal. 295-296]

Maksudnya adalah syariat membangun hukumnya kepada perkara yang sering terjadi, adapun yang jarang terjadi maka tidak perlu dilihat. [al-Mumti’ fil qowaid al-fiqhiyyah hal. 299]

Tidak merupakan hikmah menyamakan setiap tempat yang memang berbeda. Karena syariat datang untuk meyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda.

[2] al-akh dr. Raehanul Bahraen mengatakan: “qiyasnya tidak tepat”

Tanggapan:
Perlu anda ketahui bahwa qiyas memiliki 4 rukun yang apabila terpenuhi keempat rukunnya maka ia adalah qiyas yang tepat.
Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad An-Najjar:

فالقياس لا بد فيه من أربعة أركان: فرع، وأصل، وعلة، وحكم.

“maka qiyas harus memiliki empat rukun: far’u, ashl, illat, hukum” [syarh al-waraqat fii ushulil fiqh, hal. 233]

Dalam kasus ini kita mendapati justru keempat rukun qiyas sudah terpenuhi.

Ashl= berjamaah di masjid
Far’u= kepasar dan ke ATM
Illat= berkumpul
Hukum= tidak diperbolehkan karena takut terpapar virus

Jadi kesimpulannya adalah karena sholat berjamaah dimasjid tidak diperkenankan dengan sebab berkumpulnya manusia, maka ke pasar dan ke ATM juga harusnya tidak diperkenankan karena sama-sama tempat berkumpulnya manusia.

[3] al-akh dr. Raehanul Bahraen mengatakan: “ ke ATM untuk ambil uang, ke pasar dan mall untuk belanja kebutuhan pokok, ini semua kebutuhan pokok/darurat yang manusia tidak bisa hidup tanpa makan dan minum sedangkan masjid berbeda tidak bisa disamakan.”
Kemudian ia menyebutkan dua alasan yang intinya:

“pertama: syariat memberikan udzur boleh meninggalkan sholat kerena hujan, maka takut karena wabah juga termasuk udzur”

“kedua: sholat tidak ditinggalkan secara muthlak, masih berjamaah dirumah”

Tanggapan:
Kami katakan bahwa alasan yang anda sebutkan memanglah tepat bagi mereka yang memiliki udzur, sedangkan mereka yang tidak memiliki udzur maka alasan ini tidak lah dibenarkan dengan alasan:

1) kebolehan sholat dirumah hanya bagi yang memiliki udzur.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ»

Dari Ibnu Abbas -radhiyallah anhu- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda: barangsiapa yang mendengar adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada sholat baginya kecuali bagi yang memiliki udzur” HR. Ibnu Majah (793) dan selainnya.

2) sakit saja yang benar disepakati sebagai udzur berjamaah, para sahabat berusaha mati-matian untuk melaksanakannya, karena mereka khawatir terhadap sikap kemunafikan, dan khawatir terhadap kesesatan akibat meninggalkan sunanul huda.

عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا، فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مَنْ سُنَنَ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ، لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ»

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Barangsiapa yang gembira bertemu dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini saat ia dipanggil untuk melaksanakannya. Karena Allah menyariatkan untuk Nabi kalian sunanul huda (petunjuk). Dan shalat berjamaah termasuk sunanul huda (petunjuk). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, itu berarti kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat. Aku telah melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat berjamaah melainkan orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dan sungguh adakalanya seseorang biasa dibawa di antara dua orang (dipapah) sampai ia diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 654)

3) realita sebagian ikhwan yang menganggap udzur meninggalkan jamaah mereka terjatuh dalam kesalahan seperti: futur, ghuluw dalam bergantung kepada sebab, mencela habis-habisan yang masih sholat berjamaah secara global, senang apabila ada tertular karena sholat berjamaah, bahkan senang apabila ada yang mati karena jum’atan. Sikap terakhir ini justru sangat bertentangan dengan iman kepada takdir dan larangan seseorang mengatakan لو “seandainya”. Seandainya dia sholat dirumah, pasti dia tidak tertular.

Wallahu a’lam bish showab.

Dika Wahyudi.

– Via Facebook Ustadz Dika Wahyudi, Lc حفظه الله تعالى

Leave a Reply

Your email address will not be published.