Imam Ibnu qoyyim al-Jauziyyah berkata menjelaskan hikmah dari i’tikaf: “ketika kebaikan dan istiqomah hati seorang hamba menempuh jalan menuju Allah –ta’ala- tergantung pada terfokusnya hati kepada Allah dan mengumpulkan cerai-berainya hati dengan menghadap secara totalitas kepada Allah –ta’ala- -karena sesungguhnya tercerai berainya hati tidak bisa dikumpulkan kecuali dengan menghadap kepaba Allah –ta’ala- dengan totalitas-
dan (1) berlebihan dalam makan dan minum, (2) berlebihan dalam bergaul kepada manusia, (3) berlebihan dalam berbicara, (4) berlebihan dalam tidur, termasuk hal-hal yang menambah cerai berainya hati, menceraiberaikan hati ke seluruh lembah, dan menghalanginya dari berjalan menuju Allah –ta’ala- atau melemahkannya, atau bahkan menghalanginya dan membuatnya terhenti (dari berjalan menuju Allah); maka kasih sayang al-Aziz ar-Rohim kepada hamba-Nya menuntut agar mensyariatkan mereka: puasa; yang dengan puasa akan menghilangkan berlebihan makan dan minum. Dan mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi hati dari berjalan menuju Allah –ta’ala-.
Dan Allah –ta’ala- mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan, di mana seorang hamba bisa mengambil manfaat dari puasa di dunia maupun di akheratnya, dan puasa tidak memudhorotkannya dan menghalanginya dari kemaslahatannya di dunia dan di akherat.
Dan mensyariatkan kepada mereka i’tikaf yang maksud dan ruhnya adalah menahan hati kepada Allah, dan mefokuskannya kepada-Nya, berkholwat (berdua-duaan) dengan-Nya, dan memutuskan dari sibuknya berhubungan dengan makhluk dan hanya sibuk berhubungan dengan Allah –ta’ala-, di mana zikir kepada-Nya, cinta pada-Nya, menghadap kepada-Nya menempati keinginan dan lintasan-lintasan hati seseorang. Maka gantinya (ganti dari lintasan hati dan keinginannya yaitu zikir dan cinta serta menghadap kepada Allah) akan menguasai hatinya. (dengan itu) berubahlah seluruh keinginan hati dengan i’tikaf, dan seluruh lintasan-lintasan hati dengan berdzikir kepada-Nya dan memikirkan agar mendapatkan keridhoan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Maka kedekatannya kepada Allah –ta’ala- menggantikan kedekatannya kepada makhluk, maka hamba itu menyiapkan kedekatannya kepada Allah di hari yang sangat sepi di alam kubur, ketika tidak ada teman baginya, dan tidak ada yang akan membahagiakannya kecuali Allah, maka inilah maksud i’tikaf yang paling agung.”
[zaadul ma’ad (II/86)]
– Ditulis oleh Ustadz Dika Wahyudi حفظه الله تعالى