Pertanyaan “Allah Berada di Mana?” bukan hal sepele, sampai-sampai dalilnya ada 5 macam, yaitu; Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, Akal dan Fitrah.
Seluruh manusia -bukan seluruh muslim lagi, bukan seluruh mukmin lagi-, fitrahnya menerima bahwa Allah di atas langit, oleh karena itu seperti contoh; ketika kita mengalami sesuatu yang tidak bisa kita menghindar dan sangat butuh pertolongan seperti berada di dalam gedung yang terbakar api seluruhnya dan kita yakin tidak ada yang bisa menolong selain Allah, maka yang manusia lakukan adalah pasti hati manusia tersebut menghadapkan hatinya ke atas langit, kearah ketinggian, WALAUPUN orang-orang yang mengingkari Allah berada di atas Arsy; hati kecil, akal dan fitrah mereka tidak sanggup mengarahkan hatinya, tangannya ke arah bumi -bawah-, niscaya mereka akan mengangkat tangannya seraya berdoa ke atas.
Syaikh Utsaimin berkata: “Sesuatu yang sudah jelas diucapkan oleh Al-Quran dikabarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- lewat hadits, maka tidak boleh ditanggapi dengan ‘kalau begitu…’ ‘kalau begini…’.
Seluruh pembicaraan tentang Allah jangan sampai keluar dari dalil -se-aneh apapun itu-, walalupun tidak masuk di akal kita; WAJIB KITA IMANI KARENA ITU ADALAH DALIL.
“Meyakini Allah berada di atas Arsy ialah wajib, dan bertanya bagaimana cara Allah bersemayam itu bid’ah.” Imam Malik -rahimahullah- [1]
– Kiriman catatan faedah dari akhuna Barly Abinya Salman dari kajian kitab Aqidah Wasithiyah oleh Ustadz Muhtarom حفظه الله تعالى
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [QS. Thaha: 5]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378].