Syarah Atas Tanya Jawab Dalam Sebuah Kajian Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-

Berikut ini adalah syarah (penjelasan) atas tanya jawab dalam sebuah kajian Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-. Dan penjelasan ini banyak mengambil faedah dari buku-buku karya beliau -hafizhahullaah-.

[1]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:

Ini ada pertanyaan -pertanyaannya ghuluw- tapi saya harus jawab. Antum dengarkan:

“Ustadz, mohon nasehat: siapa yang harus kita ikuti setelah antum dan Ustadz ‘Abdul Hakim?”

Ini pertanyaan ghuluw, berlebih-lebihan. Banyak da’i. Antum tidak perlu kepada saya atau Ustadz ‘Abdul Hakim. Kita manusia biasa; kadang benar kadang salah. Yang diikuti siapa? Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

PENJELASAN:

* Ghuluw artinya melampaui batas.

Dikatakan:

غَلَا يَغْلُوْ غُلُوًّا

Jika ia melampaui batas.

Allah berfirman:

{…لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ…}

“…Janganlah kamu ghuluw (melampaui batas) dalam agamamu…” (QS. An-Nisaa’: 171)

Ghuluw tidak diperbolehkan baik dalam: ‘aqidah, ibadah, amalan, maupun pujian. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sendiri pernah melarang dari berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Beliau bersabda:

لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَـمَ، فَإِنَّـمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku; sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan dalam memuji (‘Isa) bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba; maka katakanlah: ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya (Utusan Allah).” [HR. Al-Bukhari (no. 3445), dan lainnya]

Lihat: “SYARAH ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH” (hlm. 267-271 -cet. XV) dan “MULIA DENGAN MANHAJ SALAF” (hlm. 241-242- cet. XII), keduanya karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-.

* Dalam teks pertanyaan terdapat bentuk ghuluw, yaitu menempatkan Ustadz Yazid dan Ustadz ‘Abdul Hakim -hafizhahumallaah- sebagai orang yang harus diikuti. Maka ini tidak benar. Karena yang harus diikuti hanyalah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah-:

لِأَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ لِآدَمِيٍّ بَعْدَهُ مَا جَعَلَ لَهُ، بَلْ فَرَضَ عَلَى خَلْقِهِ اتِّبَاعَهُ، فَأَلْزَمَهُمْ أَمْرَهُ، فَالْخَلْقُ كُلُّهُمْ لَهُ تَبَعٌ

“Karena Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia pun setelah beliau (Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) kekhususan yang Dia berikan atas beliau. Bahkan Allah wajibkan atas seluruh makhluk-Nya untuk ittibaa’ (mengikuti) beliau. Maka Allah haruskan atas mereka untuk menta’ati perintah beliau, dan seluruh makhluk adalah pengikut beliau.” [“Ar-Risaalah” (no. 326)]

Sebagaimana kaum muslimin juga bisa bersikap ghuluw terhadap Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- jika menganggap bahwa beliau memiliki sifat “ilaahiyyah” (hak untuk disembah), seperti yang diyakini oleh orang-orang Nasrani terhadap Nabi ‘Isa -‘alaihis salaam-.

* Jadi, sekali lagi: kewajiban kita adalah mengikuti dalil. Adapun ulama -setinggi apa pun tingkat keilmuannya- maka bisa benar dan bisa juga salah. Imam Malik bin Anas -rahimahullaah- berkata:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِيْ رَأْيِيْ، فَكُلَّمَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ؛ فَخُذُوْا بِهِ، وَكُلَّمَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ؛ فَاتْرُكُوهُ

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesaui dengan Al-Kitab dan As-Sunnah; maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah; maka tinggalkanlah.” [“Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi” (I/775, no. 1435 & 1436), karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr -rahimahullaah-]

Lihat perkataan yang semisal ini dari para ulama lain: di buku “SIFAT WUDHU & SHALAT NABI -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-“ (hlm. 14-15 -cet. V), karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-.

[2]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:

Ustadz-ustadz yang lain banyak yang antum bisa belajar, selama mereka berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf.

PENJELASAN:

* Beliau ditanya tentang “SIAPA” yang harus diambil ilmunya, tapi beliau jawab dengan “APA”; yakni: sifat-sifat dari da’i yang bisa diambil ilmunya, yaitu yang berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salaf.

Ini seperti jawaban Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits “Iftiraaqul Ummah” (Perpecahan Umat Islam) ketika ditanya tentang “SIAPA” golongan yang selamat? Tapi beliau menjawab dengan “APA”; yakni: sifat dari golongan yang selamat. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah-:

”(Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) mengisyaratkan tentang ”Al-Firqah An-Naajiyah” (Golongan Yang Selamat) ketika beliau ditanya tentangnya,…maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan dengan sabda beliau:

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ

“Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.”

Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan para Shahabat ketika bertanya kepada beliau: “SIAPA golongan (yang selamat) tersebut wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab bahwa ”Al-Firqah An-Naajiyah” (Golongan Yang Selamat) adalah yang BERSIFAT dengan sifat beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan sifat para Shahabat beliau…” [”Al-I’tishaam” (III/275-276 -tahqiiq Syaikh Masyhur)]

* Dan di dalam bukunya ”MULIA DENGAN MANHAJ SALAF” (hlm. 255-264- cet. IX); Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- telah mengisyaratkan: siapakah Ustadz-Ustadz yang Salafi (yang berjalan di atas Manhaj Salaf) yang bisa diambil ilmunya. Beliau berkata:

“Sifat-Sifat Yang Dengannya Seorang Muslim Berhak Dikatakan Sebagai Salafi:

1. Berhukum dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam semua sisi kehidupannya…

2. Berpegang pada penjelasan dari para Shahabat tentang setiap permasalahan agama secara umum, dan lebih khusus lagi mengambil penjelasan mereka dalam masalah ‘Aqidah dan Manhaj…

3. Tidak memperdalam masalah yang tidak dapat dinalar oleh akal…

4. Memperhatikan Tauhid Uluhiyyah…

5. Tidak berdebat dan tidak bermajlis dengan Ahlul Bid’ah, tidak mendengarkan perkataan mereka, dan tidak menyampaikan syubhat-syubhat mereka. Ini adalah jalan para Salafush Shalih…

6. Bersemangat dan bersungguh-sungguh menyatu-kan jama’ah dan kalimat kaum muslimin di atas Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf…

7. Menghidupkan Sunnah-Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam ibadah, akhlak, dan semua sisi kehidupan; sehingga mereka menjadi orang-orang yang terasing di tengah-tengah kaumnya…

8. Tidak fanatik melainkan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak berkata dari hawa nafsunya…

9. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar…

10. Membantah setiap orang yang menyelisihi Manhaj Salaf: baik Muslim maupun kafir, setinggi dan serendah apa pun kedudukannya, baik menyelisihinya dengan sengaja maupun karena kesalahan, dan hal itu tidak termasuk menjelekkan dan menganggap rendah; tetapi termasuk nasihat dan kasih sayang terhadap orang yang dibantah…

11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari ulama-ulama Islam yang mendasari dakwahnya yang dimulai di atas Manhaj Ahlus Sunnah; sehingga kesalahannya itu termasuk dalam ijtihad -yang diberikan satu ganjaran, sedang kesalahannya ditolak-, dengan kesalahan-kesalahan para da’i penyeru Bid’ah; dari orang-orang yang mendasari dakwah mereka yang tidak dimulai dari Manhaj Ahlus Sunnah; sehingga kesalahan mereka terhitung Bid’ah.

12. “Taqarrub” (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara mentaati orang yang yang telah dijadikan Allah -Ta’aalaa- sebagai ulil amri (pemimpin) bagi kita, tidak memberontak kepada mereka, mendo’akan mereka dengan kebaikan dan keselamatan, dengan tetap menasihatinya secara jujur.

13. Hikmah dalam berdakwah mengajak kepada Allah…

14. Memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an, As-Sunnah, dan atsar Salaful Ummah, serta mengamalkannya, dan meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi baik kecuali jika mereka memperhatikan ilmu dan amal shalih.

15. Bersemangat melakukan Tashfiyah (pemurnian) dalam setiap bidang agama dan Tarbiyah (mendidik) generasi di atas ajaran yang telah dibersihkan tersebut.”

[3]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:

Tadi saya bawakan perkatan Muhammad bin Sirin:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

[“Ilmu ini adalah agama; maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”]

PENJELASAN:

Di antara yang Ustadz Yazid -hafizhahullaah- tekankan dalam adab mencari guru adalah: kejelasan Manhaj dan ‘Aqidah-nya. Seperti yang beliau katakan dalam kajian “Panduan Menuntut Ilmu”:

“Sehingga bagi kita: kalau ada ustadz yang jelas -‘aqidah & manhajnya- dan jelas pula kitab yang dikajinya; maka jangan lihat jauhnya jarak perjalanan untuk menuntut ilmu darinya. Yang penting jelas (ustadz & kitabnya), karena menuntut ilmu harus jelas.

Tidak seperti sekarang: lihat di Youtube ada yang bagus; langsung dipanggil (untuk ceramah). Semestinya harus tahu dulu: manhaj dan ‘aqidahnya. Kalau tidak demikian; maka tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu.

Walaupaun jauh, kalau jelas; maka datangi. Para ulama dulu: punya istri dan banyak anak; maka mereka tinggalkan untuk menuntut ilmu -sampai berbulan-bulan-.”

[4]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:

Antum jangan ghuluw.

Ini makanya ada sebagian orang menuduh antum yang ngaji sama saya, sama Ustadz [‘Abdul] Hakim: “ta’asshub”, fanatik, tidak mau terima dari yang lain. Padahal saya tidak pernah mengajarkan demikian, tidak. Yang saya bawakan dalil Qur-an – Sunnah, Qur-an – Sunnah, itu yang saya bawakan. Yang antum bisa ngaji kepada orang lain selama yang disampaikan itu juga dalil Qur-an Sunnah.

Tapi antum nggak boleh: kalau nggak dari Ustadz Yazid, Ustadz [‘Abdul] Hakim: nggak mau terima. Nggak boleh. Antum kembali lagi kepada Ahlul Bid’ah lagi, kepada Hizbi lagi. Terima dari siapa aja, selama itu dalil dari Qur-an dan Sunnah.

PENJELASAN:

* Di antara perkara yang disyari’atkan adalah: menghindari “Syamaatatul A’daa’” (musuh merasa senangdengan musibah yang menimpa kita).

Di antara dalilnya:

(1)- Dari Abu Hurairah -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata:

كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ، وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ، وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ

Rasulullaah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- biasa berlindung dari: … “Syamaatatul A’daa’.” [Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 6347) & Muslim (no. 2707)]

Imam Ibnul Atsir -rahimahullaah- berkata:

““Syamaatatul A’daa’” yaitu: kesenangan musuh dengan musibah yang menimpa (kita).” [“An-Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Atsar” (hlm. 491- cet. Daar Ibnil Jauzi)]

(2)- Firman Allah tentang perkataan Nabi Harun kepada Nabi Musa -‘alaihimas salaam-, ketika Musa marah kepadanya sambil menarik kepalanya-:

{…فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ…}

“…janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku…” (QS. Al-A’raaf: 150)

Imam Al-Qurthubi -rahimahullaah- berkata

“Yakni: Jangan membuat mereka (musuh) senang.

“Syamaatah” maknanya: senang dengan musibah yang menimpa saudaramu, baik musibah dalam urusan agama maupun dunia.” [“Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur-aan” (IX/343- cet. Mu-assasah Ar-Risaalah)]

* Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- mengingatkan jama’ah kajian beliau agar jangan sampai membuat musuh-musuh dakwah senang dengan ketergelinciran sebagian ikhwan dalam lafazh perkataan yang mengarah kepada fanatik dan seolah-olah tidak menerima dari ustadz yang lain. Maka beliau melakukan Saddu Dzarii’ah (menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada kejelekan), menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada “Syamaatatul A’daa’”.

[5]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:

Antum perhatikan itu: ghuluw ini membinasakan. Antum perhatikan! Nabi bersabda -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ؛ فَإِنَّـمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ: الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhkan diri kalian dari ghuluww dalam agama; karena ghuluw [dalam agama] yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah.”

Antum hati-hati! Terjadinya pertama kali kesyirikan -yaitu pada umatnya Nabi Nuh -‘alaihish shalaatu was salaam-; yaitu: orang-orang shalihnya meninggal; dibangun kuburannya, dibuat lukisan, nggak disembah. Tapi setelah itu, setelah meninggal orang-orang yang membangunnya, datang generasi selanjutnya: disembah. Itu antum hati-hati!

PENJELASAN:

* Dalam bukunya “SYARAH KITAB TAUHID” (hlm. 205 -cet. IV) Ustadz Yazid -hafizhahullaah- menyebutkan bahwa ada tiga jenis manusia dalam memperlakukan orang shalih:

1. Ahlul Jafaa’ (oang yang berpaling); yaitu orang yang zhalim terhadap hak-hak mereka (orang-orang shalih), tidak memenuhi hak mereka. Seperti: mencintai, loyal, menghormati dan memuliakan mereka.

2. Ahlul Ghuluw (orang yang berlebihan); yaitu orang yang mengangkat mereka di atas kedudukan mereka yang seharusnya, yang Allah tempatkan mereka dengannya.

3. Ahlul Haqq; yaitu orang yang mencintai mereka, loyal, serta memenuhi hak-hak mereka dengan benar. Tetapi berlepas diri dari bersikap gbuluw dan tidak menganggap mereka ma’shum (terlepas dari dosa). [“Lihat: “Al-Qaulus Sadiid” (hlm. 153)].

Maka, orang-orang shalih memiliki hak untuk diberikan loyalitas. Terutama jika mereka adalah para “KIBAAR”; yaitu: YANG TUA DALAM ILMU, ATAU TUA DALAM USIA, ATAU KEDUA-DUANYA.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Keberkahan bersama orang-orang KIBAR (yang telah TUA) di antara kalian.” [Lihat: “ShahiihulJaami’ Ash-Shaghiir” (no. 2884), karya Imam Al-Albani -rahumahullaah-]

* Syaikh Profesor Doktor Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata dalam sebagian kajiannya:

“Keberkahan ada bersama orang yang telah TUA di antara kalian, dan kebaikan ada pada orang yang tua.

Dan TUA ada dua macam:

[1]- Yang di TUA-kan dalam masalah ilmu, mereka di TUA-kan dengan sebab ilmu mereka yang berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, walaupun mereka adalah orang-orang yang berusia muda; maka keberkahan ada bersama mereka.

Maka dimana saja engkau temukan orang yang ‘alim (berilmu) terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, orang tersebut mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan orang tersebut MENGAJARKAN MANHAJ SALAFUSH SHALIH: maka ketahuilah bahwa dia termasuk KIBAR.

Kemudian di kalangan orang-orang yang berilmu: maka keberkahan ada pada yang KIBAR (TUA USIANYA) di antara mereka.

Maka setiap yang berdakwah (mengajak) kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah DENGAN JUJUR, DAN TANDA KEJUJURANNYA ADALAH MANHAJ SALAF, maka mereka adalah KIBAR.

Kemudian para KIBAR tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan USIA dan ILMU yang mereka miliki.

[2]- Makna yang kedua (untuk kibar) adalah: KIBAR (yang tua) dari segi USIA; walaupun mereka tidak memiliki ilmu. Maka bersama mereka ada keberkahan dan kebaikan. Karena walaupun sekiranya terluput dari mereka: ilmu syar’i; mereka tidak luput dari HIIKMAH YANG MEREKA PELAJARI DALAM KEHIDUPAN DI DUNIA.

Oleh karena itu -wahai ikhwah-: AHLUL AHWA’ (PARA PENGEKOR HAWA NAFSU/AHLUL BID’AH): MEREKA MEMBUAT (MANUSIA) LARI DARI PARA KIBAR (TUA) DARI KALANGAN ORANG BERILMU, MAUPUN KIBAR DALAM USIA. Karena mereka mengetahui bahwa KIBAR (tua) dari kalangan orang-orang berilmu; AKAN MENGHADANG JALAN-JALAN SYUBHAT MEREKA. Dan para KIBAR (tua) dalam usia: MEMBIMBING PARA PEMUDA KEPADA KEBAIKAN DENGAN FITROH DAN PENGALAMAN MEREKA.

Sekarang sebagian orang-orang yang KIBAR (tua) usia: mengingkari apa yang terjadi berupa pemberontakan kepada penguasa, dan celaan kepada penguasa; bukan atas dasar ilmu tentang hal tersebut, akan tetapi dari hikmah pengalaman hidup mereka. Ketika Ahlul Ahwa’ (para pengekor hawa nafsu/ahlulbid’ah) mengetahui bahwa: penghalang yang menghalangi mereka untuk menerkam (mempengaruhi) para pemuda: tidak lain adalah para KIBAR; maka mereka mulai mencela para KIBAR dan mencela orang-orang yang berilmu, serta memberikan gelar dan sifat buruk, dan membuat (manusia) menjauh dari mereka. MEREKA MENJAUHKAN PARA PEMUDA DARI PARA KIBAR…

ADAPUN AHLUS SUNNAH; MAKA MEREKA MEMERINTAHKAN UNTUK SENANTIASA BERSAMA PARA KIBAR; BAIK DARI KALANGAN ORANG-ORANG YANG BERILMU, MAUPUN DARI KALANGAN ORANG-ORANG YANG SUDAH TUA; mengambil faedah dari pengalaman mereka dan memuliakan mereka.

Demi Allah! Tidak lah memuliakan orang tua melainkan orang yang mulia, dan tidak lah meremehkan mereka melainkan orang yang hina.

KEBERKAHAN BERSAMA PARA KIBAR (TUA); BAIK TUA DARI SEGI ILMU, MAUPUN USIA.”

* Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- juga berkata dalam kajian beliau lainnya:

“Wahai suadara-saudaraku! Manhaj Salaf adalah nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya, dimana Allah memilihnya di antara jutaan orang: untuk berjalan di atas Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan di atas jalan Salafush Shalih (para pendahulu yang shalih) terutama para Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan jika seseorang memperhatikan sekitarnya dan ia akan menyaksikan orang-orang yang binasa (menyimpang) dan banyaknya orang-orang yang tercegah dari Manhaj Salafush Shalih; maka ia akan mengetahui nikmat Allah -‘Azza Wa Jalla- dimana Allah telah menunjukkinya kepada Manhaj Salaf, yang berisi semua kebaikan.

Sebagaimana (pengakuan terhadap nikmat Allah) ini menuntutnya untuk mengingat (jasa) orang-orang yang telah mendahuluinya dalam ilmu, mereka mengerahkan hal-hal berharga dalam hidup mereka untuk menyebarkan Dakwah Salaf; ketika Manhaj Salaf di negeri ini -ketika itu- asing dan para pengikutnya masih sedikit. Maka mereka berjuang dan bersabar, dan mendakwahkan Manhaj Salaf sesuai ilmu dan kemampuan mereka. Dan mereka banyak mendapatkan gangguan, akan tetapi mereka bersabar karena Allah. Sampai Allah mudahkan, sehingga tersebarlah Dakwah Salaf, dan kalian sekarang menjadi para da’i Manhaj Salaf.

Maka sepantasnya kalian mengingat (jasa) orang-orang tersebut, dan banyak mendo’akan kebaikan untuk orang-orang yang sudah meninggal di antara mereka, dan menghormati orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Karena sungguh, mereka adalah orang-orang yang telah mendahului kalian dalam Manhaj ini, mereka beribadah kepada Allah dengan Tauhid lebih banyak dari ibadah kalian, dan mereka telah mendekatkan diri kepada Allah -‘Azza Wa Jalla- dalam memperjuangkan dakwah; lebih banyak dari kalian. Maka sepantasnya kalian mengenal kedudukan dan keutamaan mereka; sehingga kalian mengormati yang masih hidup di antara mereka.

Dan tidak sepantasnya (kalian sebagai) cabang: membatalkan asas (yakni: orang-orang yang mendahului) kalian, karena (kaidah mengatakan): jika cabang membatalkan asal; maka ini menuntut batalnya cabang itu sendiri. Maka tidak sepantasnya kalian memutus hubungan dengan guru-guru dan “kibaar”/senior (orang-orang yang lebih tua dalam segi usia dan ilmu) di antara kalian, bahkan hendaknya kalian menghormati mereka dan bermusyawarah dengan mereka dan hendaknya kalian kembali kepada mereka.

Betul, bahwa mereka tidaklah ma’shum (terjaga dari kesalahan), karena selain Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- maka bisa benar dan bisa salah. Maka tugas kita adalah menyetujui yang benar dan menyelisihi yang salah; akan tetapi dengan adab, dengan menjaga kedudukannya dan menjaga keutamaannya. Adapun menyindir para senior tersebut dengan mengatakan: sebagian orang-orang tua tersebut tidak lancar berbahasa Arab, atau sebagaian mereka banyak salahnya dalam berfatwa, atau semisalnya: maka ini hal yang tidak pantas, dan bukan termasuk dari adab syar’i yang seharusnya ditempuh.

Para da’i jika melihat senior mereka salah; maka hendaknya menghubunginya dan menjaga wibawanya, dengan tidak menyebarkan kesalahannya di tempat umum, dan tidak menuliskan kesalahannya di media sosial; baik secara terang-terangan maupun secara sindiran. Akan tetapi menghubunginya dan menjelaskan kepadanya pendapat (yang benar) dan bahwa ia telah salah dalam fatwanya. Kalau senior itu rujuk (kembali kepada kebenaran); maka alhamdulillaah (segala puji bagi Allah), dan kalau ia tidak rujuk; maka tidak mengapa kalau penuntut ilmu mengatakan: “Syaikh kita berpendapat demikian, dan beliau memang memiliki alasan, akan tetapi melihat kepada perkataan para ulama dan dalil-dalil serta kaidah-kaidah yang ada: maka memberikan kesimpulan bahwa hukum (yang benar) adalah demikian.” Maka dengan cara seperti ini terdapat penjelasan terhadap ilmu dengan disertai adab, dan menjaga kedudukan (senior tersebut).”

* Adapun tentang hadits yang dibawakan oleh Ustadz Yazid -hafizhahullaah- dan juga tentang kisah kaum Nabi Nuh -‘alaihis salaam-; maka bisa dibaca penjelasannya pada buku beliau “SYARAH KITAB TAUHID” (hlm. 205-217 -cet. IV), Bab 19: Di antara Sebab Kafirnya Manusia dan Meninggalkan Agama Mereka adalah Ghuluw (Sikap Berlebihan) kepada Orang-orang Shalih.

– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix حفظه الله تعالى

Leave a Reply

Your email address will not be published.