Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Sadhan -hafizahullaah- berkata:
“Tersamar atas banyak orang-orang yang menghendaki perbaikan -terutama orang-orang yang baru-: untuk membedakan antara ulama -yang kita diperintahkan Allah -Ta’aalaa- untuk bertanya kepadanya-; dengan selain ulama; yang memang diberikan kemampuan dalam suatu cabang berupa: ceramah, ibadah, ataupun menulis.
Maka, karunia berupa: ahli dalam ceramah, menulis, dan banyaknya ibadah: semuanya termasuk pintu-pintu kebaikan dan keutamaan -itupun kalau dia berada di atas ilmu-. Akan tetapi walaupun demikian; untuk masalah fatwa -terutama dalam perkara-perkara besar-: haruslah diserahkan kepada ulama yang telah dikenal dengan kebenaran ‘Aqidahnya, keselamatan Manhajnya, dan kekokohan dalam ilmunya.
Kesamaran ini -yaitu: tidak bisa membedakan antara ulama dengan selainnya-; telah membawa banyak dari masyarakat kaum muslimin kepada musibah dan kejelekan; di waktu yang mereka sangat membutuhkan untuk saling bekerjasama dan bersatu.
Maka, tampilnya sebagian manusia yang tidak dikenal memiliki ilmu -apalagi bergelut dengannya-, kemudian dia menjadi ahli fatwa, dan mengeluarkan berbagai macam fatwa yang tidak disertai dalil syar’i; bahkan dengan hanya berdasar pada semangat yang menggebu atau sekedar meniru orang lain (ulama sesungguhnya-pent): hal ini telah menyia-nyiakan banyak dari usaha (perbaikan), serta menjadi sebab untuk tertutupnya pintu-pintu kebaikan, dan membuka pintu-pintu keburukan.
Kita minta kepada Allah -Ta’aalaa- agar menjaga orang-orang yang melakukan perbaikan: dari tipu daya hawa nafsu dan setan.
Oleh karena itulah, tugas seorang yang menginginkan perbaikan: agar berhati-hati ketika berbagai perkara tersamar atasnya. Jangan sampai dia mengambil semua perkataan yang dia dengar; meskipun dia dibuat kagum oleh orang yang berbicara; dimana perkataannya telah menarik hati manusia.
Maka semua ini tidak bisa memberikan pembenaran untuk mengambil perkataannya dengan penerimaan yang sempurna. Kedudukan seorang ulama tidak bisa dicapai oleh pembicara maupun tukang ceramah -mendekati pun tidak-; jika dia berpaling dari menuntut ilmu syar’i.
Demikian juga seorang yang menginginkan perbaikan; yang dia diberikan kutamaan berupa: ahli dalam ceramah, menulis, atau yang semisalnya, dan manusia berbaik sangka kepadanya; karena kebagusan akhlak dan adabnya; tugas dia adalah: mengenal kadar/tingkatan dirinya, jangan sampai dia berfatwa tanpa ilmu, dan jangan merasa enggan atau malu untuk mengatakan: “Aku tidak tahu”, agar dia tidak menjatuhkan dirinya dan orang lain ke dalam tempat-tempat ketergelinciran. Dan dia bisa untuk mengarahkan orang lain kepada ahli ilmu -dalam hal-hal yang dia tidak tahu-; sehingga dia telah menjadi penunjuk kepada kebaikan yang besar, dan juga dia telah membersihkan agamanya (dari ketergelinciran-pent).”
[“Ma’aalim Fii Thariiqil Ishlaah” (hlm. 28)]
– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix Eskanto حفظه الله تعالى