Zaman itu zaman dimana filsafat mulai masuk ke negeri Islam dan ucapan Imam Syafi’i “Kaum muslimin menjadi tidak faham dengan agamanya diawali dengan masuknya ilmu filsafat kedalam Islam”. Ketika ilmu filsafat masuk ke dalam Islam kaum muslimin mulai tidak faham dengan ajaran Islam karena filsafat itu kata para ulama “Mementahkan yang sudah matang, mencerai-beraikan yang sudah rapih” itulah filsafat.
Allah ada satu bersemayam di atas Arsy, ini kan sudah ketemu tetapi oleh orang filsafat dibuat tidak ketemu lagi. Maka orang filsafat berkata jika kita mau belajar sebuah keyakinan maka kita harus mengosongkan dulu keyakinan dikepala kita, dihati kita, seolah kita bukan orang kristen, bukan yahudi, bukan budha, bukan hindu, bukan orang Islam, kosongkan dulu baru belajar, ini yang katanya mereka bilang netral dan objektif.
Ini mengerikan sekali, kosongkan berarti seolah kita bukan orang kristen, bukan orang yahudi, bukan orang Islam, habis itu mati. Apa tidak mengerikan? Memangnya ada jaminan masih hidup sampai besok? “Saya ini bukan yahudi, bukan nasrani, bukan Islam”. Kosong.. habis itu mati. Ini bahaya sekali dan ini diajarkan dibeberpa perguruan tinggi Islam dan ini musibah yang sangat besar.
Apa yang sudah matang dan sudah jadi di Al-Qur’an diacak-acak lagi, diurai lagi, menghabiskan waktu. Maka salah satu tokoh besar filsafat ahlul kalam yaitu Fakhruddin Ar-Razi menyesal diakhir hidupnya dengan mengatakan “Alangkah senangnya alangkah indahnya jika aku menjadi seperti kakek-kakek atau nenek-nenek di Naisabur”. Naisabur itu suatu desa terpencil yang jauh dari peradaban dan kota sehingga ilmu filsafat tidak masuk kedesa tersebut, awam tidak tahu apa-apa tapi tidak kemasukan syubhat filsafat. Beliau menyesal padahal beliau ahli.
Dahaga mereka orang-orang filsafat tidak hilang, kelaparan mereka tidak hilang, jadi filsafat itu tidak menghilangkan dahaga dan kelaparan, masih bagaimana sih, bagaimana sih? Beda dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dimana Allah berada? Di atas Arsy[1], selesai. Namun mereka tidak selesai sampai disitu, mereka cerai-beraikan lagi yang sudah terajut rapih.
– Faedah dari muqoddimah kajian kitab Ar-Risalah oleh Ustadz Muhtarom حفظه الله تعالى
________
Footnote
[1] Firman Allah al-Aziiz: الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaahaa: 5]
Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab: َاْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ.
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali da-lam kesesatan.”
Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya.