Dalil-dalil Seputar Pro – Kontra Pemilu

[1]- Suara mayoritas

{وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَـخْرُصُوْنَ}

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini; niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’aam: 116)

[2]- Demokrasi dan pemilu (mendahulukan suara rakyat) bukanlah hukum Islam

{أَمْ لَـهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَـهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَـمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ…}

“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan Allah?…” (QS. Asy-Syuuraa: 21)

{…وَمَنْ لَـمْ يَـحْكُمْ بِـمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ}

“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah; maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa-idah: 44)

[3]- Tidak boleh menyamakan antara orang baik dengan orang buruk

{أَفَنَجْعلُ الْمُسْلِمِيْنَ كَالْمُجْرِمِيْنَ * مَا لَكُمْ كَيْفَ تَـحْكُمُوْنَ}

“Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang Islam itu seperti orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam: 35-36)

[4]- Perubahan adalah dari bawah (rakyat)

{…إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ…}

“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)

[5]- Kelemahan kaum muslimin adalah karena mereka meninggalkan ajaran agamanya

((إِذَا تَـبَايَـعْـتُـمْ بِـالْـعِـيْـنَـةِ، وَأَخَــذْتُـمْ أَذْنَـابَ الْـبَقَرِ، وَرَضِيْـتُمْ بِـالـزَّرْعِ، وَتَرَكْــتُمُ الْـجِهَـادَ؛ سَلَّـطَ اللهُ عَـلَيْكُمْ ذُلًّا؛ لَا يَـنْـزِعُـهُ حَتَّى تَـرْجِــعُــوْا إِلَـى دِيْــنِـكُمْ))

“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem Bai’ul ‘Iinah[1], kalian memegang ekor-ekor sapi dan ridha dengan pertanian[2], dan kalian meninggalkan jihad[3]; niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabut (kehinaan) itu dari kalian; hingga kalian kembali kepada agama kalian.”

[Shahih: HR. Abu Dawud (no. 3462), dari ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-. Lihat: “Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiiihah” (no. 11), karya Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-]

[6]- Orang-orang yang akan mendapatkan kekuasaan di muka bumi

{وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِـحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَـهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَـهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ}

“Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu YANG BERIMAN DAN MENGERJAKAN AMAL-AMAL SHALIH: bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. MEREKA TETAP BERIBADAH KEPADA-KU DENGAN TIDAK MEMPERSEKUTUKAN-KU DENGAN SESUATU PUN. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu; maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)

[7]- Larangan membuat kelompok-kelompok dan partai-partai dalam Islam

{…وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ * مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِـمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ}

“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (yang mempersekutukan Allah), yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum: 31-32)

[8]- Tidak boleh berjanji setia kepada kelompok atau partai tertentu

((لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ))

“Tidak boleh saling berjanji (atas sesuatu) dalam Islam” [Muttafaqun ‘Alaihi]

[9]- Keadaan wakil rakyat

((لَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ عَرِيْفٍ، وَالْعَرِيْفُ فِي النَّارِ))

“Harus ada ‘Ariif bagi manusia, dan ‘Ariif (tempatnya) di Neraka.”

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dalam “Thabaqaatul Ashbahaaniyyiin” dan lainnya [Lihat: “Ash-Shahiihah” (no. 1417) karya Al-Albani]

‘Ariif adalah: orang yang mengurusi perkara politik (pengaturan) manusia dan menjaga urusan mereka, serta menjelaskan kebutuhan mereka kepada penguasa; karena penguasa/pemimpin tidak bisa langsung turun tangan mengurusi semua perkara, sehingga ia butuh kepada ‘Ariif.

Dan ‘Ariif tempatnya di Neraka, karena: umumnya para ‘Ariif ini adalah mereka melampaui batas dan tidak berlaku jujur, sehingga menyampaikan kepada berbagai kemaksiatan. Maka orang yang memegang jabatan ini berada dalam bahaya dan tidak aman untuk terjatuh ke dalam hal terlarang yang mengantarkan kepada adzab. Maka sepantasnya bagi orang yang berakal untuk waspada dari hal yang bisa mengantarkannya ke Neraka.

[Lihat: “Faidhul Qadiir” (VIII/559-560- cet. Daarul Hadiits), karya Imam Al-Munawi -rahimahullaah-]

[10]- Ta’at kepada pemerintah hanyalah dalam kebaikan

((…إِنَّـمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ))

“Ta’at itu hanya dalam hal yang ma’ruf.” [Muttafqun ‘Alaihi]

((لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِـيْ مَعْصِيَةِ الْـخَالِقِ))

“Tidak boleh ta’at kepada makhluk dalam rangka maskiat kepada Al-Khaliq (Allah Yang Maha Pencipta).” [Lihat: “Silsilah al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 179)]

[11]- Jangan mendekati pintu penguasa

((…وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ؛ افْـتُـتِـنَ، وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ قُرْبًا،؛ إِلَّا ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا))

“…dan barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa/pemerintah; maka dia akan terkena fitnah, dan tidak bertambah kedekatannya dengan penguasa/pemerintah; melainkan dia akan bertambah jauh dari Allah.”

Sanadnya Hasan: HR. Ahmad (no. 8822 dan 9646- cet. Daarul Hadiits) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kaamil (I/318- cet. Daarul Fikr), dan sanadnya di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (no. 1272).

Imam Al-Munawi berkata:

“Hal itu dikarenakan: orang yang masuk kepada mereka (para penguasa/pemerintah):

– bisa jadi dia akan tertarik dengan kenikmatan yang ada pada mereka; sehingga dia akan meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada dirinya,

– atau dia akan meremehkan pengingkaran terhadap (kezhaliman) mereka -padahal (pengingkaran) itu adalah wajib-; sehingga dia akan menjadi orang yang fasik.”

[“Faidhul Qadiir Syarh Al-Jaami’ Ash-Shagiir” (VI/94- cet. Daarul Ma’rifah)]

[12]- Orang-orang yang rakus akan kepemimpinan

((إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ))

“Kalian nanti akan berambisi terhadap kepemimpinan, dan hal itu nantinya akan menjadi penyesalan pada Hari Kiamat, maka kenikmatan (bayi) yang menyusu dan kejelekan (bayi) yang disapih” [HR. Al-Bukhari (no. 7148)]

“kenikmatan (bayi) yang menyusu”: dikarenakan (nikmat) mendapat kedudukan, harta, perintahnya didengar (oleh bawahan), serta mendapatkan kelezatan yang nyata maupun yang tidak nyata; ketika dia mendapatkan (kepemimpinan) tersebut.

“kejelekkan (bayi) yang disapih”; yaitu: ketika terpisah dari kepemimpinan, apakah (terpisah) dengan sebab kematian ataupun yang lainnya, dan (juga keburukan) karena mendapatkan dampak-dampak negatif di akhirat atas (kepemimpinan) tersebut.

[Lihat: “Fat-hul Baari” (XIII/156- cet. Daarus Salaam)]

[13]- Yang akan memenuhi kebutuhan kaum muslimin adalah Allah, asalkan mereka bertawakkal kepada-Nya

{…وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ…}

“…Barangsiapa bertawakkal kepada Allah; niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS. Ath-Thalaq: 3)

[14]- Cara Salaf dalam memilih pemimpin

Para Ulama menyebutkan bahwa cara memilih pemimpin yang ditetapkan oleh Salaf ada dua:

[Lihat: “Fiq-hus Siyaasah asy-Syar’iyyah” (hlm. 135-148), karya Doktor Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Anbari -hafizhahullaah-]

1. Dengan cara bai’at yang dilakukan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.

2. “Istikhlaaf”, yakni: Khalifah (pemimpin) yang akan wafat menentukan satu orang khalifah yang menggantikannya atau menentukan sekelompok orang agar mereka menentukan satu pemimpin di antara mereka.

[Lihat: “Fat-hul Baarii” (XIII/254-cet. Daarus Salaam)]

Dua cara inilah yang dicontohkan oleh para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-.

Cara pertama dipraktekkan oleh mereka ketika pengangkatan Abu Bakr Ash-Shiddiq -radhiyallaahu ‘anhu- sebagai khalifah, dimana para pembesar Shahabat membai’at beliau di di Saqiifah Bani Sa’idah .

[Lihat: Shahih Al-Bukhari (no. 3667 & 3668)]

Adapun cara kedua, maka dipraktekkan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq ketika mengangkat ‘Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau [Lihat: Shahih Al-Bukhari (no. 7218)]. Juga dipraktekan oleh ‘Umar dengan memberikan amanat kepada enam orang Shahabat -yang kemudian terkenal dengan Ahlu Syuuraa- untuk memilih pemimpin kaum muslimin di antara mereka [Lihat: Shahih Al-Bukhari (no. 3700)].

Inilah dua cara yang syar’i dalam memilih pemimpin yang dicontohkan oleh para Shahabat Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

[15]- Tidak boleh memilih pemimpin kafir

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّـهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ}

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah engkau menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia; maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zhalim.” (QS. Al-Maa-idah: 51)

[16]- Tidak boleh menjadikan wanita sebagai pemimpin

((لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً))

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang wanita.” [HR. Al-Bukhari]

[17]- Mengambil madharat yang paling ringan (kemudian memberikan solusi setelah mengambilnya)

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ، فَبَالَ فِـيْ طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ-، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ؛ أَمَرَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ- بِذَنُـوْبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيْـقَ عَلَيْهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin malik -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Seorang arab badui datang, kemudian kencing di pojok masjid. Maka manusia menegurnya, akan tetapi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka. Tatkala ia menyelesaikan kencingnya; NABI -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- MEMERINTAHKAN UNTUK DIAMBILKAN SEEMBER AIR, KEMUDIAN DISIRAMKAN KEPADA (BEKAS KENCING)NYA. [Muttafaqun ‘Alaihi]

-dikumpulkan oleh: Ahmad Hendrix, dari tulisan dan perkataan: para ulama, masyaa-yikh dan ustadz-ustadz Ahlus Sunnah-

________________
[1] Jual beli yang di dalamnya terkandung unsur riba terselubung.

[2] Isyarat kepada: sibuknya kaum muslimin dengan urusan dunia mereka.

[3] Kesibukan mereka dengan dunia sampai mengantarkan mereka untuk meninggalkan kewajiban mereka; di antaranya adalah jihad. Lihat: At-Tashfiyah wat Tarbiyah Wa Haajatul Muslimiin Ilaihimaa (hlm. 7-11), milik Imam Al-Albani rahimahullaaah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.