Syaikh Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhailai -hafizhahullaah- berkata:
“Wahai suadara-saudaraku! Manhaj Salaf adalah nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya, dimana Allah memilihnya di antara jutaan orang: untuk berjalan di atas Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan di atas jalan Salafush Shalih (para pendahulu yang shalih) terutama para Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan jika seseorang memperhatikan sekitarnya dan ia akan menyaksikan orang-orang yang binasa (menyimpang) dan banyaknya orang-orang yang tercegah dari Manhaj Salafush Shalih; maka ia akan mengetahui nikmat Allah -‘Azza Wa Jalla- dimana Allah telah menunjukkinya kepada Manhaj Salaf, yang berisi semua kebaikan.
Sebagaimana (pengakuan terhadap nikmat Allah) ini menuntutnya untuk mengingat (jasa) orang-orang yang telah mendahuluinya dalam ilmu, mereka mengerahkan hal-hal berharga dalam hidup mereka untuk menyebarkan Dakwah Salaf; ketika Manhaj Salaf di negeri ini -ketika itu- asing dan para pengikutnya masih sedikit. Maka mereka berjuang dan bersabar, dan mendakwahkan Manhaj Salaf sesuai ilmu dan kemampuan mereka. Dan mereka banyak mendapatkan gangguan, akan tetapi mereka bersabar karena Allah. Sampai Allah mudahkan, sehingga tersebarlah Dakwah Salaf, dan kalian sekarang menjadi para da’i Manhaj Salaf.
Maka sepantasnya kalian mengingat (jasa) orang-orang tersebut, dan banyak mendo’akan kebaikan untuk orang-orang yang sudah meninggal di antara mereka, dan menghormati orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Karena sungguh, mereka adalah orang-orang yang telah mendahului kalian dalam Manhaj ini, mereka beribadah kepada Allah dengan Tauhid lebih banyak dari ibadah kalian, dan mereka telah mendekatkan diri kepada Allah -‘Azza Wa Jalla- dalam memperjuangkan dakwah; lebih banyak dari kalian. Maka sepantasnya kalian mengenal kedudukan dan keutamaan mereka; sehingga kalian mengormati yang masih hidup di antara mereka.
Dan tidak sepantasnya (kalian sebagai) cabang: membatalkan asas (yakni: orang-orang yang mendahului) kalian, karena (kaidah mengatakan): jika cabang membatalkan asal; maka ini menuntut batalnya cabang itu sendiri. Maka tidak sepantasnya kalian memutus hubungan dengan guru-guru dan “kibaar”/senior (orang-orang yang lebih tua dalam segi usia dan ilmu) di antara kalian, bahkan hendaknya kalian menghormati mereka dan bermusyawarah dengan mereka dan hendaknya kalian kembali kepada mereka.
Betul, bahwa mereka tidaklah ma’shum (terjaga dari kesalahan), karena selain Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- maka bisa benar dan bisa salah. Maka tugas kita adalah menyetujui yang benar dan menyelisihi yang salah; akan tetapi dengan adab, dengan menjaga kedudukannya dan menjaga keutamaannya. Adapun menyindir para senior tersebut dengan mengatakan: sebagian orang-orang tua tersebut tidak lancar berbahasa Arab, atau sebagaian mereka banyak salahnya dalam berfatwa, atau semisalnya: maka ini hal yang tidak pantas, dan bukan termasuk dari adab syar’i yang seharusnya ditempuh.
Para da’i jika melihat senior mereka salah; maka hendaknya menghubunginya dan menjaga wibawanya, dengan tidak menyebarkan kesalahannya di tempat umum, dan tidak menuliskan kesalahannya di media sosial; baik secara terang-terangan maupun secara sindiran. Akan tetapi menghubunginya dan menjelaskan kepadanya pendapat (yang benar) dan bahwa ia telah salah dalam fatwanya. Kalau senior itu rujuk (kembali kepada kebenaran); maka alhamdulillaah (segala puji bagi Allah), dan kalau ia tidak rujuk; maka tidak mengapa kalau penuntut ilmu mengatakan: “Syaikh kita berpendapat demikian, dan beliau memang memiliki alasan, akan tetapi melihat kepada perkataan para ulama dan dalil-dalil serta kaidah-kaidah yang ada: maka memberikan kesimpulan bahwa hukum (yang benar) adalah demikian.” Maka dengan cara seperti ini terdapat penjelasan terhadap ilmu dengan disertai adab, dan menjaga kedudukan (senior tersebut).
– Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Hendrix حفظه الله تعالى