[1]- Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman tentang perkataan kaum Nabi Nuh -‘alaihis salaam- kepada beliau:
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَـنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ أَرَاذِلُـنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَـرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُــنُّكُمْ كَاذِبِـيْنَ
“Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat engkau, melainkan manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.”” (QS. Huud: 27)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata:
“Ini adalah penolakan orang-orang kafir terhadap Nabi Nuh -‘alaihis salaam- dan para pengikut beliau. (Pada hakikatnya perkataan) tersebut menunjukkan kebodohan mereka serta sedikitnya ilmu dan pemahaman mereka, karena tidaklah menjadi suatu aib bagi kebenaran: jika para pengikutnya adalah orang-orang yang rendah (status sosialnya). Karena kebenaran tetaplah kebenaran; sama saja apakah pengikutnya orang-orang yang mulia atau orang-orang yang hina. Bahkan pada hakikatnya: para pengikut kebenaran; mereka itulah orang-orang mulia yang sebenarnya, walaupun mereka orang-orang miskin. Dan orang-orang yang menolak kebenaran; mereka itulah orang-orang yang hina, walaupun mereka orang-orang yang kaya.
Kemudian, kenyataan yang ada: bahwa para pengikut kebenaran: umumnya adalah kaum dhu’afa (orang-orang yang lemah/miskin), sedangkan orang-orang mulia (yang berstatus sosial tinggi) dan para pembesar: umumnya menjadi penentang kebenaran, seperti dalam firman Allah Ta’aalaa:
وَكَذٰلِكَ مَا أَرْسَلْــنَا مِنْ قَبْلِكَ فِـيْ قَـرْيَـةٍ مِنْ نَذِيْـرٍ إِلَّا قَالَ مُـتْـرَفُـوْهَا إِنَّا وَجَـدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّـةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُوْنَ
“Dan demikian juga; tidaklah Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri; melainkan orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.”” (QS. Az-Zukhruf: 23)”
[“Tafsiir Ibni Katsiir” (hlm. 635- Al-Mishbaahul Muniir)]
[2]- Pengikut Para Rasul Adalah Orang-Orang Lemah.
Ketika Raja Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan (yang ketika itu masih musyrik): “Siapakah yang menjadi pengikut dia (Muhammad); orang-orang mulia atau orang-orang lemah?” Abu Sufyan menjawab: “Orang-orang lemah”. Kemudian Heraklius berkata: “Saya bertanya kepada anda: Siapakah yang menjadi pengikut dia (Muhammad); orang-orang mulia atau orang-orang lemah? Maka anda jawab: “Orang-orang lemah”. Maka (sepengetahuan saya): mereka (orang-orang lemah) itulah pengikut para Rasul (sebelum Muhammad-pent).”
[HR. Al-Bukhari (no. 7) dan Muslim (no. 1773)]
[3]- Jangan Remehkan Orang-Orang Rendahan!
Mekipun demikian, janganlah meremehkan orang-orang lemah tersebut, karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ
“Tidaklah kalian di berikan pertolongan dan diberikan rezeki (oleh Allah) melainkan dengan sebab orang-orang lemah diantara kalian.”
[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2896)]
Dalam riwayat lain:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هٰذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِـيْـفِهَا؛ بِدَعْوَتِـهِمْ وَصَلَاتِـهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
“Allah hanyalah menolong umat ini disebabkan orang-orang lemahnya; dengan sebab doa mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka.”
[Shahih: HR. An-Nasaa-i (no. 3178-cet. Maktabah Al-Ma’aarif)]
[4]- Jangan Berbangga Dengan Banyaknya Orang-Orang Kaya!
Sebagaimana dijelaskan: bahwa orang-orang yang kaya dan hidup mapan; merekalah yang umumnya menjadi penentang kebenaran. Dan kalau pun mereka mengikuti kebenaran; maka kalau Dakwah terkena ancaman dan gangguan, sehingga dituntut keberanian untuk melakukan perjuangan; maka dunia bisa memberatkan, sehingga keadaannya seperti yang Allah firmankan:
يَـا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَا لَكُمْ إِذَا قِــيْلَ لَكُمُ انْفِرُوْا فِـيْ سَبِـيْلِ اللهِ اثَّاقَلْـتُمْ إِلَى الأرْضِ أَرَضِيْــتُمْ بِالْـحَيَاةِ الدُّنْــيَا مِنَ الآخِرَةِ فَـمَا مَتَاعُ الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا فِـي الآخِرَةِ إِلَّا قَلِـيْلٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”; kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah: 380)
Allaahul Musta’aan Wa ‘Alaihit Tuklaan (Allah lah Yang dimintai pertolongan dan kepada-Nya lah kita bersandar)
– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix حفظه الله تعالى
Sumber: https://www.facebook.com/ahmadhendrix.eskanto/posts/517743028566578