Membela Kebenaran Tanpa Takut Kekeluargaan -ataupun “Kebesaran”-

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ * وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dia (Yusuf) berkata: “Dia yang menggodaku dan merayu diriku.” SEORANG SAKSI DARI KELUARGA PEREMPUAN ITU MEMBERIKAN KESAKSIAN: “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan; maka perempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.”.” (QS. Yusuf: 26-27)

[2]- Tidak boleh bagi seorang mukmin untuk diam atas kebatilan dan tidak menjelaskan kebenaran, apa lagi membela ahli kebatilan, atau bahkan melindungi pelaku kejahatan -dikarenakan: kekerabatan, fanatik golongan atau pun yang lainnya-.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

…وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

“…dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisaa’: 105)

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

…وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا…

“…dan Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan…”

[HR. Muslim (no. 1978), dari ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu-]

Abu ‘Ali Ad-Daqqaq (wafat th. 405 H) berkata:

مَنْ سَكَتَ عَنِ الْـحَقِّ؛ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

“Barangsiapa yang diam dari menjelaskan kebenaran; maka dia adalah Setan yang bisu.”

[“Syarh Muslim” (II/25- cet. Daarul Faihaa’)]

[3]- Jangan Takut Kepada “Kebesaran” Untuk Mengatakan kebenaran!
(diambil dari: Al-Maqaalaat (III/63-64), karya Ahmad Hendrix)

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa- sallam bersabda:

أَلَا لَا يَـمْنَعَنَّ رَجُلًا هَـيْـبَـةُ النَّاسِ أَنْ يَـقُوْلَ بِـحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

“Ingatlah! Janganlah sikap segan terhadap manusia; menghalangi seseorang untuk mengatakan dengan kebenaran jika dia mengetahuinya.”

[Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Majah (no. 4007), dan lainnya. Lihat takhriij-nya dalam “Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (no. 168) karya Imam Muhammad Nashiruddin -Al-Albani rahimahullaah-]

Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Di dalam Hadits ini terdapat larangan kuat dari menyembunyikan kebenaran; karena takut kepada manusia dan tamak terhadap penghidupan (pekerjaan). Maka setiap orang yang menyembunyikan kebenaran karena takut diganggu manusia -dengan suatu jenis gangguan- seperti: pukulan, celaan, terputusnya saluran dana, takut tidak dihormati oleh mereka, dan yang semisalnya; maka orang tersebut masuk dalam larangan dan dia telah menyelisihi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.”

[Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/325)]

Bandingkan … dengan keadaan belakangan … dimana seseorang diberikan ketakutan … untuk mengatakan kebenaran … yang diselisihi oleh perorangan … dikarenakan yang dibicarakan … -yaitu: si fulan & si fulan- … memiliki nama & jabatan … atau titel & ketenaran … Allaahul Musta’aan … Wa ‘Alaihit Tuklaan …

[4]- Padahal Titel dan Gelar: Tidaklah Menjamin Tingginya Kadar Keilmuan

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- berkata:

“Al-Ustadz Al-‘Allamah Al-Adib Mahmud Muhammad Syakir -rahimahullaah- memiliki sebuah perkataan indah yang sangat dalam (maknanya); yang menyingkap sedikit(!) dari keadaan sebagian Doktor akhir zaman. Yaitu dalam kitab beliau: “Abaathiil Wa Asmaar” (hlm. 95-96 [77-78- cet. Kairo]); dimana beliau berkata:

“Setelah semua ini; saya ingin menanyakan satu pertanyaan:

Apakah ini kelakuan seorang Ustadz Jami’ah (universitas) yang menyandang sebuah gelar yang dengannya dia menipu anak-anak kecil (muda) dan orang-orang tua. Dia memanfaatkan kelalaian mereka terhadap aib-nya; dikarenakan mereka terlalu percaya dengan kemuliaan gelar ini dan kemuliaan penyandangnya?!

Maka jawabannya -bagi orang yang berakal atau memiliki sedikit akal- adalah: Bukan! Dan tidak ada kemuliaan!!

Dan jika ini bukanlah kelakuan Ustadz Jam’iah, bukan pula anak SD, dan bukan pula siswa SMP(!), bahkan bukan seorangpun dari manusia -yang menempuh jenjang pendidikan di mana pun, dengan bahasa apa pun-; maka bagaimana mungkin aku bolehkan diriku untuk menyematkan gelar “Doktor” pada namanya?!

Tidak, sekali-kali tidak, tidak akan aku perbolehkan: demi untuk menjaga gelar ini(!) dari kerendahan, untuk menjaga generasi muda dari tipuan, dan agar pena-ku terjaga dari kedustaan yang jelas; yang menambah kelalaian para pembaca!

Sudah sejak dulu saya menganggap bahwa: wajib atas Jami’ah (Universitas) kita untuk meneliti kembali ijazah-ijazah ini; yang diberikan oleh sebagian Jami’ah besar -pada zaman sekarang-: kepada sebagian orang yang setelah diteliti ternyata mereka bukan ahlinya (tidak pantas mendapatkannya):

Apa sebenarnya ijazah-ijazah ini?

Bagaimana (teknis) pemberiannya?

Kepada siapa (berhak) diberikan?

Dan (diberikan) atas dasar apa?”.”

[“Ar-Radd Al-Burhaaniy” (hlm. 21-22)]

Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berkata:

“Semua ini telah menyingkap bahwa: ijazah yang diberikan -dan yang mereka namakan dengan gelar “Doktor”!!-: tidaklah memberikan kepada penyandangnya: ilmu, tahqiiq (penelitian), dan tidak juga adab.”

[“Difaa’ ‘Anil Hadiits An-Nabawiy Was Siirah” (hlm. ب)]

– Ditulis oleh Ustadz Ahmad Hendrix Eskanto حفظه الله تعالى

Leave a Reply

Your email address will not be published.